Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memandang pengakuan, penyesalan, dan jaminan ketidakberulangan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu hanya sebuah ungkapan kosong berulang.
Menurut YLBHI dan 18 LBH seluruh Indonesia, pengakuan dan penyesalan tersebut harus dibuktikan secara konkrit melalui proses hukum, tindakan, dan keputusan-keputusan strategis.
Dalam siaran persnya, YLBHI menilai, pembentukan tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP HAM) melanggengkan impunitas kepada para pelaku pelanggaran HAM berat. Selain itu, pembentukan tim PPHAM juga dipandang seolah hanya memenuhi janji politik, terlebih menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Hal ini tercermin dalam rekomendasi yang disampaikan tim PPHAM melalui Menko Polhukam Mahfud MD kepada Presiden Jokowi, Rabu (11/1).
"Di mana tidak ada satupun yang menyebutkan adanya dorongan pemerintah untuk akselerasi dan akuntabilitas penegakan hukum kasus-kasus pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM berat yang selama ini mangkrak di Kejaksaan Agung," tulis YLBHI, Kamis (12/1).
Keraguan YLBHI terhadap pernyataan Presiden Jokowi tidak lepas dari rekam jejak pemerintah dalam menyikapi berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi. Sebagai contoh, ketidakseriusan Kejaksaan Agung dalam mengungkap dan menarik pertanggungjawaban pelaku kejahatan kemanusiaan melalui proses penyidikan yang independen, transparan, dan akuntabel, setelah diselesaikannya 12 penyelidikan kasus oleh Komnas HAM.
Kemudian, YLBHI juga menyoroti langgengnya praktik impunitas yang tidak memberi keadilan atau menyeret para pelaku ke pengadilan serta menjamin ketidakberulangan.
"Presiden Joko Widodo justru mengangkat terduga atau nama-nama yang sangat erat dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti Wiranto, Prabowo, Untung Budiharto, dan lainnya, diangkat dalam jabatan-jabatan strategis pemerintahan/militer," tutur YLBHI.
Presiden Jokowi juga dinilai tidak mengakui peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM lain di luar 12 kasus yang disesalkan. Selain itu, pernyataan Presiden Jokowi juga tidak diriingi oleh peta jalan (roadmap) penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Pengakuan dan penyesalan tanpa diiringi pengungkapan kebenaran dan kejelasan siapa pelaku dan bagaimana pertanggungjawaban hukumnya, justru akan menjadi permasalahan baru," kata YLBHI.
Oleh karena itu, YLBHI mendesak Presiden Jokowi untuk memastikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat harus diberikan secara holistik. Mereka menilai, negara harus segera memberikan pemulihan bagi korban secara sungguh-sungguh, termasuk hak atas kebenaran dan hak atas keadilan agar jaminan ketidakberulangan betul-betul bisa diwujudkan.
Hal ini dilakukan melalui diselesaikannya kasus-kasus dalam pengadilan HAM secara adil dan akuntabel. Selain itu, dengan memberikan penghukuman bagi pelaku yang bersalah, agar keadilan dalam peristiwa pelanggaran HAM berat betul-betul ditegakkan.
"YLBHI juga mendorong pihak berwenang sebagaimana mandat UU Pengadilan HAM, untuk segera melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta mengadili secara independen dan akuntabel semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu," ujar YLBHI.